Sampai saat ini persoalan hukum tentang pihak yang ditunjuk untuk menghitung kerugian negara terus menuai polemik, termasuk dalam kasus pidana pajak maupun pidana korupsi. Lembaga seperti BPK, BPKP, akuntan publik, Pemeriksa Bukti Permulaan/Penyidik Pajak (DJP) menjadi tidak jelas koordinasinya lantaran hakim tidak mempersoalkannya.
Dari empat lembaga penghitung kerugian negara, akuntan publik (AP) menjadi satu-satunya lembaga independen yang tidak berkaitan dengan standing sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak memperoleh penghasilan dari APBN. Boleh jadi posisi demikian memberi nilai positif bagi publik bagaimana menilai keberadaan AP sebagai pihak independen.
Sedikitnya terdapat dua kepentingan hukum melibatkan AP sebagai penghitung kerugian negara. Pertama, kedudukan AP yang independen sangat jelas disebutkan dalam UU No 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik.
Kedua, posisi AP melakukan kegiatan jasa investigasi, yang terus diperkuat melalui pendidikan khusus untuk mendapatkan Licensed Skilled Investigator dan pelatihan profesi berkelanjutan yang memang amat dibutuhkan.
Posisi Hukum AP
Period globalisasi yang tidak dapat dihentikan telah memberi posisi hukum serta keberadaan AP untuk terus diperkuat perannya dalam mendukung perekonomian nasional yang sehat dan efisien. Peningkatan transparansi pun menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan, termasuk kualitasinformasi keuangan yang disajikan AP menjadi taruhan kepercayaan masyarakat, hal ini tegas dinyatakan pada konsiderans Undang-undang Akuntan Publik.
Penulis membahas peran AP fokus terkait kasus pidana pajak. Dalam konteks hitungan pajak, keberadaan AP pun menjadi parameter bagi transparansi usaha (bisnis) wajib pajak (WP) yang diperlukan bagi publik. Kerapkali, misalnya, ketika WP sedang dilakukan pemeriksaan pajak, fiskus bertanya apakah laporan keuangan WP diaudit oleh AP atau tidak. Itu berarti posisi hukum AP amat diperlukan dalam menilai laporan keuangan WP, apakah diaudit AP atau tidak.
Kalau begitu, penghitungan kerugian pendapatan Negara menjadi bagian yang patut ditilik secara benar jika AP dilibatkan dalam pelaksanaan di lapangan.
Dalam amatan penulis, hal ini yang kurang dipahami penegak hukum ketika hendak menuntaskan persoalan pidana pajak. Bahkan dalam penanganan pidana pajak selalu didengungkan adanya doktrin ultimum remedium.
Makna inipun kurang dipahami pemeriksa bukti permulaan (buper) maupun penyidik pajak. Tidak adanya parameter makna ultimum remedium menyebabkan makna pidana pajak menjadi rancu, serta penuntasan yang tidak efektif dan efisien dari sisi penerimaan negara dan dunia bisnis.
Ketika dipersoalkan mengapa WP dipidana, jawaban normatifnya telah melanggar ketentuan pidana Pasal 38 dan Pasal 39 UUKUP. Penulis teringat yang dikatakan de Bunt, parameter pidana baru dijalankan jika langkah pemulihan kerugian sudah tidak dapat dilakukan.
Itupun menurut penulis harus lebih jelas juga bagaimana mengukur makna ‘tidak dapat lagi dilakukan pemulihan secara administratif’.
Pada posisi AP seperti itu, maka tepat jika Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menerbitkan aturan berkaitan dengan penetapan dan pengesahan Standar Jasa Investigasi (SJI) sebagai cara memberi penguatan bagi AP dalam menjalankan profesinya. Terlebih lagi dengan diberlakukannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menekankan prinsip ultimum remedium dalam penyelesaian kasus pidana pajak. Hal ini juga berulang kali disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat pembahasan UU HPP di DPR.
Proses pidana pajak tidak lepas dari proses pemberian jasa investigasi. Tampaknya keadaan ini yang terus dijalankan IAPI guna memperkuat peran AP bagi kepentingan pajak. Misalnya pada tahap WP dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Psl 8 ayat 3 UU No 7/2021), WP dapat menggunakan independen konsultan pajak dalam menghitung kerugian pendapatan negaranya.
Akan tetapi hitungan itu belum tentu diterima fiskus karena dianggap tidak sesuai. Kalau begitu, solusi ketidaksesuaian tentu dapat dicari dengan memanfaatkan AP sebagaimana ditegaskan UU Akuntan Publik sebagai pihak independen. Hal ini sejalan dengan Pasal 3 Ayat 3 UU AP yang mengatur jasa-jasa AP.
Jika kerugian pendapatan Negara dari pajak dihitung oleh pihak DJP dalam proses pidana pajak, hitungan dimaksud tidak mencerminkan proses yang honest karena DJP merupakan bagian pihak yang bersengketa dengan WP yang tidak independen. Hal ini ditolak oleh WP, sehingga penyelesaian dengan prinsip ultimum remedium tidak berjalan selama ini.
Logika hukum yang keliru selama ini harus diluruskan, agar doktrin ultimum remedium benarbenar dapat diwujukan secara nyata sejalan dengan diberlakukannya UU HPP. Penghitungan kerugian pendapatan negara oleh profesi independen didasarkanpada objektivitas bukan subjektivitas. Hal yang objektif secara ilmu dipedomani sebagai sebuah kebenaran. Dengan demikian, kesahihan dari perhitungan atau penilaian yang objektif tersebut teruji (dependable) dan tidak merugikan WP sebagai terperiksa.
Pendapat Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Prof Moeljatno (Asas-asas Hukum Pidana, 2008), memberikan pandangan yang dimaksud dengan “objektif”, yaitu menurut ketentuan ilmiah sehingga boleh diuji dan diteliti kebenarannya oleh siapapun.
Begitupun pada tahap penyidikan serta penuntutan, kualifikasi AP yang juga telah memiliki sertifikasi keahlian konsultan pajak serta kualifikasi melakukan jasa investigasi sesuai dengan SJI 5400 yang diterbitkan IAPI, menjadi nilai khusus peran penting AP dalam rangka penuntasan kasus pidana pajak secara efisien, berkeadilan, berkepastian hukum sesuai dengan asas dan tujuan dari UU HPP.

Pekerjaan profesional AP dengan kualifikasi khusus semakin dibutuhkan dalam rangka perbaikan perekonomian dan kepastian hukum para pelaku usaha (bisnis) untuk melangkah maju dengan pasti.
Apalagi di tengah hantaman gelombang pandemi Covid-19 yang berlangsung jangka lama tanpa diketahui kapan berakhirnya. Jika berakhir pun tetap memerlukan waktu yang lama untuk pemulihan, karena pandemi Covid meninggalkan luka dan duka yang mendalam, di sisi lain kebutuhan dana semakin besar dan mendesak.
Negara pun akan semakin terbantu dengan peran AP dalam menciptakan kepastian hukum, sesuai dengan cita-cita Negara hukum dalam penyelesaian pidana pajak yang berbasis ultimum remedium.
Luasnya cakupan yang dimaksud dalam UU Pajak, memberi pengertian lain bahwa persoalan pajak tidak dimaknai uang yang sudah ada dalam kantong APBN melainkan uang yang masih ada di kantong masyarakat, namun karena UU, uang tersebut bisa di maknai sebagai kerugian pada pendapatan negara.
Dalam Standar Jasa Investigasi 5400 soal penghitungan kerugian negara yang diatur melalui Keputusan Dewan Pengurus IAPI No 31 tahun 2021, dinyatakan bahwa permintaan jasa investigasi penghitungan kerugian keuangan akan digunakan untuk mendukung tindakan litigasi.
Sekalipun yang menentukan ada tidaknya penyimpangan keuangan atau perbuatan melawan hukum adalah kewenangan hakim, kepercayaan memberi peran AP melakukan jasa investigasi, telah tepat. Runtutan proses melakukan jasa investigasi menjadi panduan AP menciptakan kepastian hukum oleh pihak independen.
Dukungan
Keputusan Dewan Pengurus IAPI No 31/2021 yang efektif berlaku 1 Januari 2022, setidaknya menjadi landasan yuridis yang memberi kepastian hukum bagi peran AP sebagai independen kon sultan. Penegak hukum seperti Kejaksaan, KPK, Polri, serta institusi lainnya patut memberi dukungan penuh kepada IAPI sebagai mitra strategis dalam penyelesaian perkara pidana, khususnya pidana pajak.
Kerja sama kemitraan profesional antarlembaga perlu terus ditingkatkan demi kemajuan bangsa dan Negara yang kita cintai.
Pada bagian lain keputusan di atas, ditekankan juga apabila perlu ahli dalam proses penyelesaian pidana tersebut dapat diikutsertakan dalam telaah (ekspose) suatu masalah atau kasus. Artinya, AP dapat berkoordinasi dengan ahli hukum untuk meminta pertimbangan menerima atau menolak adanya perikatan melakukan penghitungan kerugian pendapatan negara.
Simpulan
Dari uraian di atas, penghitung kerugian pendapatan negara sangatlah tepat jika dilakukan oleh profesional independen untuk menciptakan kepastian hukum. Lalu, bagaimana dengan peran BPK, BPKP, serta Pemeriksa Buper/Penyidik Pajak DJP? Jawabannya bukan pada persoalan kelembagaan, melainkan pada independensi penghitung kerugian negara/pendapatan negara serta dukungan penegak hukum.
Khusus berkaitan dengan kerugian pendapatan negara dalam professional ses penuntasan pidana pajak, saat ini telah diundangkan UU HPP yang terkait dengan pidana pajak yang mengutamakan dan penekanan penyelesaian dengan doktrin ultimum remedium, dan bersamaan telah diterbitkan Standar Jasa Investigasi No 5400 melalui keputusan Dewan Pengurus IAPI No 31/2021.
Hal ini merupakan momentum yang sa ngat tepat sebagai harmonisasi proses penyelesaian pidana pajak ke depan, demi penerimaan negara, sesuai dengan fungsi filosofi pajak itu sendiri sebagai fungsi budgeter.
Kerja sama yang harmonis antara IAPI dan Kementerian Keuangan/DJP dalam mewujudkan doktrin ultimum remedium merupakan langkah yang amat tepat dan strategis dalam penuntasan pidana pajak. Dengan demikian asas-asas yang terkandung pada Pasal 1 ayat 1 UU HPP benar-benar sebagai pijakan kita bersama dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan sekaligus tujuan dari UU tersebut yang tertera pada Pasal 1 ayat 2 dapat tercapai dengan baik dan nyata.
*) Akuntan Forensik, Praktisi Perpajakan, Advokat, Senior Accomplice Instances Legislation Agency, Dosen Program Studi Magister Akuntansi Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Dosen Tamu Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.
Editor : Gora Kunjana ([email protected])
More Stories
Bryan Cave Leighton Paisner cuts staff in latest law firm layoffs
Is it legal to cross the U.S. border to seek asylum?
The year extreme weather events seeped into international law